Berhiaslah dgn Rasa Malu
Ingar-bingar kehidupan remaja kita yg tercermin dari tata pergaulan sudah sampai pada taraf yg sangat memprihatinkan. Rasa malu seakan memunah sementara ‘keberanian’ merambati perilaku mereka
Di sudut sebuah sekolah seorang gadis kecil berseragam sekolah melenggang diiringi langkah dgn sejumlah teman laki-lakinya. tdk canggung dia melempar senyum tertawa dan bercanda dgn mereka. Di dlm kelas suatu yg lazim murid laki2 duduk bersama dan berdiskusi dgn murid perempuan. Justru suatu pemandangan yg ‘aneh’ bila ada seorang murid yg merasa malu melakukan semua itu. Gelaran ‘kuper’ ‘kutu buku’ ‘sok alim’ ‘anak kampungan’ atau yg lain bakal segera menghampirinya
Belum lagi di tempat lain yg lazim dikunjungi anak-anak ‘baru gede’ seusai sekolah atau di waktu senggang mereka. Dengan sedikit memoles bibir dgn lipstik disertai busana yg sedikit ‘berani’ mereka pun menjelajahi mal-mal. Entah benar-benar utk berbelanja atau sekedar nampang. tdk sedikit pun rasa canggung menghampiri hati mereka
Allahul musta’an Ha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah kita mengadukan segala kepahitan ini. Di kala rasa malu dlm jiwa anak-anak sudah terkikis. Mereka tdk sungkan lagi melakukan segala sesuatu yg dianggap aib oleh syariat. Benarlah apa yg pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg disampaikan pada kita oleh Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Sesungguh di antara apa yg didapati manusia dari ucapan nabi-nabi yg terdahulu adl ‘Apabila engkau tdk malu mk lakukan apa pun yg engkau mau’.” Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu mengatakan –sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu– “Yang dapat mencegah seseorang terjatuh dlm kejelekan adl rasa malu.Sehingga bila dia tinggalkan rasa malu itu seolah-olah dia diperintah secara tabiat utk melakukan segala macam kejelekan.” Sebenar apa malu itu? Para ulama menjelaskan malu hakikat adl akhlak yg dapat membawa seseorang utk meninggalkan perbuatan tercela dan mencegah dari mengurangi hak yg lainnya. Demikian dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dlm kitab beliau Riyadhush Shalihin Kitabul Adab Bab Al-Haya` wa Fadhluhu wal Hatstsu ‘alat Takhalluqi bihi
Malu yg ada pada diri manusia ada dua macam: Pertama malu yg berasal dari tabiat dasar seseorang. Ada sebagian orang yg Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahi sifat malu sehingga kita dapati orang itu pemalu sejak kecil. Tidak berbicara kecuali pada sesuatu yg penting dan tdk melakukan suatu perbuatan kecuali ketika ada kepentingan krn dia pemalu
Kedua malu yg diupayakan dari latihan bukan pembawaan. Arti seseorang tadi bukan seorang pemalu. Dia cakap dlm berbicara dan tangkas berbuat apa pun. Lalu dia bergaul dgn orang2 yg memiliki sifat malu dan baik sehingga dia memperoleh sifat itu dari mereka. Malu yg bersifat pembawaan itu lbh utama daripada yg kedua ini. Al-Hafizh rahimahullahu menukilkan dari Ar-Raghib bahwa malu adl menahan diri dari perbuatan jelek. Dan ini merupakan kekhususan yg dimiliki manusia agar dia dapat berhenti dari berbuat apa saja yg dia inginkan sehingga dia tdk akan seperti hewan. Sifat malu ini mendapatkan pujian dlm syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan demikian dlm sabda yg disampaikan oleh ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu: الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ “Malu itu tidaklah datang kecuali dgn membawa kebaikan.” Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang sahabat yg mencela teman krn rasa malu yg dimilikinya. Dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يُعَاتِبُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ يَقُوْلُ: إِنَّكَ لَتَسْتَحْيِي – حَتَّى يَقُوْلَ: قَدْ أَضَرَّ بِكَ – فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْهُ، فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai seseorang yg sedang mencela saudara krn malu. Dia mengatakan “Kamu ini merasa malu” sampai dia katakan “Rasa malu itu telah memudaratkanmu!” mk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata “Biarkan dia krn malu itu termasuk keimanan.” Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah pula mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ “Iman itu ada tujuh puluh sekian1 cabang. Cabang yg paling utama adl ucapan ‘tak ada sesembahan yg haq kecuali Allah’ yg paling rendah menghilangkan gangguan dari jalan dan malu itu salah satu cabang keimanan.” Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu dan ulama yg lain menjelaskan “Sesungguh malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena malu itu terkadang merupakan akhlak yg disandang atau hasil usaha seseorang seperti hal amalan kebaikan lain dan terkadang pula merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaan di atas aturan syariat membutuhkan upaya niat dan ilmu. Dengan ini malu termasuk keimanan. Juga krn malu dapat mendorong seseorang utk melakukan kebaikan dan mencegah dari kemaksiatan.” Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan: إِنَّ الْحَيَاءَ وَاْلإِيْمَانَ قُرِنَا جَمِيْعًا، فَإِنْ رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلآخَرُ “Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu dari kedua hilang pula yg lainnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adl seorang yg memiliki sifat sangat pemalu. Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu sifat malu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، فَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lbh pemalu daripada seorang gadis dlm pingitannya. Bila beliau tdk menyukai sesuatu kami bisa mengetahui pada wajah beliau.” ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu adl seorang sahabat yg terkenal memiliki sifat pemalu hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun malu kepadanya. Dikisahkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعًا فِي بَيْتِي كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ، فَاسْتَأْذَنَ أَبُوْ بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ، فَتَحَدَّثَ. ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ كَذَلِكَ، فَتَحَدَّثَ. ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ، فَجَلَسَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَوَّى ثِيَابَهُ – قَالَ مُحَمَّدٌ: وَلاَ أَقُوْلُ ذَلِكَ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ – فَدَخَلَ فَتَحَدَّثَ. فَلَمَّا خَرَجَ قَالَتْ عَائِشَةُ: دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَلَمْ تَهْتَشَّ وَلَمْ تُبَالِهِ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَسَوَّيْتَ ثِيَابَكَ! فَقَالَ: أَلاَ أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ؟ “Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaring di rumahku dlm keadaan tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakr meminta izin menemui beliau. Beliau mengizinkan masuk sementara beliau masih dlm keadaannya. Lalu Abu Bakr bercakap-cakap dgn beliau. Kemudian ‘Umar datang meminta izin utk masuk. Beliau mengizinkan masuk sementara beliau tetap demikian keadaannya. Mereka pun berbincang-bincang. Kemudian ‘Utsman datang minta izin utk menemui beliau. Beliau pun langsung duduk dan membenahi pakaian –Muhammad2 berkata: Aku tdk mengatakan bahwa hal ini terjadi dlm satu hari– ‘Utsman pun masuk dan berbincang-bincang. Ketika ‘Utsman pulang Aisyah berta “Abu Bakr masuk menemuimu namun engkau tdk bersiap menyambut dan tdk memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu engkau juga tdk bersiap menyambut dan tdk memedulikan pula. Kemudian ketika ‘Utsman masuk engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu!” Rasulullah menjawab “Tidakkah aku merasa malu kepada seseorang yg malaikat pun merasa malu kepadanya?” dlm riwayat yg lain dari ‘Aisyah dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: إِنَّ عُثْمَانَ رَجُلٌ حَيِيٌّ، وَإِنِّي خَشِيْتُ إِنْ أَذِنْتُ لَهُ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ أَنْ لاَ يَبْلُغَ إِلَيَّ فِي حَاجَتِهِ “Sesungguh ‘Utsman itu orang yg pemalu. Aku khawatir jika aku mengizinkan dia masuk dlm keadaan seperti tadi dia tdk akan bisa menyampaikan keperluan kepadaku.” Ini menunjukkan bahwa malu adl sifat yg terpuji dan termasuk sifat yg dimiliki oleh para malaikat. Tetapi ke mana pergi rasa malu yg dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya itu dari jiwa sebagian kaum muslimin sekarang ini? Anak-anak kita tdk lagi merasa malu menonton tayangan yg tdk layak dilihat
Anak-anak gadis kita sekarang tdk lagi merasa malu bertemu dgn laki2 yg tdk seharus ditemui
Begitu pula anak laki2 kita tdk merasa malu pergi bermain dgn memakai celana pendek. Dia justru merasa malu bila harus berlatih memakai celana yg menutupi aurat krn akan berbeda dgn teman-teman sepermainannya
Anak-anak merasa malu jika tdk mengenal mode atau tren terkini
Atau justru orangtualah yg merasa malu jika anak-anak harus menghabiskan waktu utk menghafal Al-Qur’an atau menempuh pendidikan agama. Tidak ada sederet gelar yg akan melekat di depan nama bila hanya belajar agama begitu yg ada dlm pikiran
Mereka pun akan malu jika anak mereka ‘kuper’ krn tdk mau bergaul dgn lawan jenisnya. Allahul musta’an . Keadaan telah berbalik
Malu merupakan sifat yg terpuji kecuali bila justru mencegah pemilik dari melaksanakan kewajiban atau menjatuhkan pada keharaman. Jika rasa malu pada diri seseorang menghalangi melakukan kebaikan atau mendorong berbuat kemaksiatan atau menghalangi utk menyampaikan kebenaran kepada seseorang yg dia hormati atau dia cintai mk pada hakikat ini bukanlah malu melainkan sikap lemah
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu tentang malu mengatakan bahwa malu yg dipuji dlm ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adl akhlak yg bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Sedangkan rasa lemah yg menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adl kelemahan ketidakmampuan dan kehinaan. Di antara perkara yg tdk pantas malu pada adl menuntut ilmu. Demikian yg ada dlm kehidupan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Jadi belajar agama yg benar tdk boleh dipandang sebagai sesuatu yg ‘tak bergengsi’ sehingga orang harus malu melakukannya
Tidak layak pula malu berta tentang sesuatu hal yg penting utk diamalkan dlm agama ini walaupun nampak hal itu adl sesuatu yg ‘tabu’. Seperti Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yg berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi janabah bagi wanita yg ihtilam. Ummu Sulaim memulai pertanyaan dgn ucapan yg begitu bermakna: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحِي مِنَ الْحَقِّ .
“Wahai Rasulullah sesungguh Allah tidaklah malu pada perkara yg benar” Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah merasa malu dlm suatu majelis ilmu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontarkan pertanyaan kepada para sahabat yg ada di majelis itu. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ingin memberikan jawaban namun rasa malu begitu menguasainya. Ketika mengetahui hal itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun mencela perbuatan putranya. Berikut kisahnya: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُؤْمِنِ كَمَثَلِ شَجَرَةٍ خَضْرَاءَ لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَلاَ يَتَحَاتُّ. فَقَالَ الْقَوْمُ: هِيَ شَجَرَةُ كَذَا، هِيَ شَجَرَةُ كَذَا، فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُوْلَ هِيَ النَّخْلَةُ وَأَنَا غُلاَمٌ شَابٌّ فَاسْتَحْيَيْتُ، فَقَالَ: هِيَ النَّخْلَةُ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti sebuah pohon yg hijau yg tdk pernah berguguran daunnya.” Para sahabat pun menjawab “Itu adl pohon ini pohon itu.” Aku ingin mengatakan bahwa itu adl pohon kurma sementara aku ini anak kecil sehingga aku pun merasa malu. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “Itu pohon kurma.” Di dlm riwayat yg lain ada tambahan: فَحَدَّثْتُ بِهِ عُمَرَ فَقَالَ: لَوْ كُنْتَ قُلْتَهَا لَكَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا Kuceritakan kejadian itu kepada ayahku ‘Umar mk dia berkata “Seandai engkau tadi menjawab itu lbh kusukai daripada memiliki ini dan itu.” Betapa jauh keadaan kita dgn para sahabat. Mereka berhias dgn rasa malu yg hakiki yg dapat menahan diri mereka dari kehinaan. Mereka buang jauh-jauh sifat lemah yg menyebabkan seseorang segan melakukan kebaikan. Mulai sekarang mesti kita berbenah diri dan membenahi anak-anak kita agar memiliki rasa malu
Rasa malu itu akan menuntun kita dan anak-anak kita menuju kebaikan sehingga kelak akan sampai di surga. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg dinukilkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: الْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِيْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ وَالجَفَاءُ فِي النَّارِ “Malu itu termasuk keimanan dan keimanan itu tempat di surga sementara kekejian3 itu termasuk kekerasan4 dan kekerasan itu tempat di neraka.” Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab
1 Al-bidh’u adl hitungan antara tiga sampai sembilan
2 Salah seorang perawi hadits ini
3 Al-badza` adl lawan dari malu yg muncul dari perkataan keji dan akhlak yg buruk
4 Al-jafa` adl lawan dari kebaikan. Pelaku adl orang2 yg tdk menunaikan hak bertabiat kasar dan berhati keras
Sumber: www.asysyariah.com
1,192 Komentar pada 699 diskusi Download Lagu Dangdut»